Ngemis
atau Mati
Biasanya aku mendengar kata-kata
ini: melawan atau miskin. Tapi, kali ini, saya mendengarnya dengan versi
lain: “Ngemis atau Mati.”
Pagi sudah beranjak mendekati siang.
Awan hitam pekat menggantung di langit Jakarta. Wah, ini sebentar lagi hujan
lebat. Aku pun bergegas menaiki metromini warna merah itu.
“Mau hujan begini kok masih panas,
ya?” keluh seorang ibu yang duduk tepat di belakang sang sopir.
“Ya, namanya juga pemanasan global,
bu,” kata seorang pria berkemeja putih dengan entengnya. “Sekarang, ya,
perakiraan cuaca itu sudah gak laku. Banyak melesetnya ketimbang benarnya.”
Ibu itu tak menggubris jawaban yang
tak diharapkannya itu. Tangannya sibuk mencari sesuatu di tasnya.
Dan..trengg…ternyata sebuah kipas alami: brosur tipis bersampul logo partai.
“Baru pulang dari kampanye, bu,”
tanya pria berkemeja putih tadi.
Si Ibu tak langsung menjawab. Udara
panas lebih mendesak untuk diatasi ketimbang menjawab pertanyaan si pria iseng.
“Dek, apa Pancoran masih jauh?”
tanya Ibu dengan wajah menghadap padaku. “Saya mau ke Bekasi. Kata orang, saya
harus turun di Pancoran dan mengambil bus jurusan Bekasi di situ.”
“Belum,” kata orang Tionghoa di
sampingku. “Pancoran masih jauh. Satu kilometer lagi. Nanti saya beritahu kalau
sudah sampai.”
Tiba-tiba metromini berhenti
sejenak. Tiga pemuda bergaya anak punk—rambut Mohawk atau dicat
warna-warni, hidung ditindik, celana ketat dan sepatu boat—memaksa untuk naik.
“Permisi,” kata seorang diantara
mereka. “kami tidak bermaksud mengganggu perjalanan, bapak-ibu. Anda-anda bisa
hidup dengan enak. Tapi, jangan lupa, di sekeliling anda banyak yang tak
beruntung. Termasuk kami ini.”
Para penumpang hanya melongo. Orang
Tionghoa, di sampingku, sedang asyik menerima telpon entah dari siapa.
Sedangkan si ibu tadi sedang sibuk berjuang melawan udara panas.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, seribu dua
ribu tidak akan mengurangi rejeki Anda hari ini. Ikhlas bagi Anda halal bagi
kami.” Sambung si anak punk berambut merah.
Dan..treng..treng…konser di atas
metromini itu pun dimulai. Yang kuingat haya potongan lirik lagunya:
Sungguhku menyesal telah mengenal
dia
Dan aku kecewa karena menyayanginya
Dan aku tak akan mengulang kedua kalinya…
Dan aku kecewa karena menyayanginya
Dan aku tak akan mengulang kedua kalinya…
Kusimpan rindu di hati
Gelisah tak menentu
Berawal dari, kita bertemu
Kau akan kujaga
Gelisah tak menentu
Berawal dari, kita bertemu
Kau akan kujaga
Kuingin engkau mengerti
Betapa kau aku cinta
Hanya padamu
Aku bersumpah
Kau akan kujaga sampai mati..
Betapa kau aku cinta
Hanya padamu
Aku bersumpah
Kau akan kujaga sampai mati..
Kuingin tahu siapa namamu
Dan kuingin tahu dimana rumahmu
Walau sampai akhir hayat ini..
Dan kuingin tahu dimana rumahmu
Walau sampai akhir hayat ini..
Jalan hidup kita berbeda
Aku hanyalah punkrock jalanan..
Yang tak punya harta berlimpah
Untuk dirimu sayang…
Aku hanyalah punkrock jalanan..
Yang tak punya harta berlimpah
Untuk dirimu sayang…
Kutunggu kau kutunggu
Kunanti kau kunanti
Walau sampai akhir hayat ini…
Kunanti kau kunanti
Walau sampai akhir hayat ini…
Begitu selesai bernyanyi satu lagu,
seorang pemuda punk lainnya langsung menyodorkan bekas pembungkus permen relaxa.
Uhm, bau miras tercium begitu menyengat dari pemuda ini.
“Terima kasih, bang,” kata pemuda
itu, begitu aku memasukkan uang dua ribuan ke pembungkus relaxa di tangannya.
Metromini berhenti. Si kernet mobil
berseru-seru, “yang turun di pancoran, silahkan turun, jangan lupa kaki kanan
duluan, ya.”
Pemuda-pemuda bergaya punk itu
bergegas turun. Si ibu tadi juga menyusul di belakangnya. Lalu, sejumlah wajah
baru berebut naik. Metromini tua ini pun langsung penuh sesak.
Dan, begitu lampu hijau menyala,
metromini pun melaju kencang di tengah guyuran hujan deras. Aku, yang terjepit
di tengah banyak penumpang, memilih memejamkan mata. Dan..aku pun tertidur
pulas.
Sampai seseorang menggoyangkan
badanku. “Mas, ini sudah pasar Minggu, tujuan terakhir. Silahkan turun!”
Kugosok-gosok mataku, lalu kulihat
keluar jendela. Ya, betul, ini sudah di pasar minggu. Segera kuraih sisir dari
dalam tasku, kusisir sebentar rambutku dan kemudian bergegas turun.
***
Kaki melangkah ke warung es teler
Pak Sumadi. Sekedar promosi: ini warung es teler paling laris di pasar Minggu.
Banyak yang bilang, rasa es teler racikan Pak Sumadi tak ada duanya di Jakarta
ini.
“Kau kecapekan, Soe,” kata Pak
Sumadi menegur.
“Tidak, pak,” balasku dengan suara
rendah.
Kuceritakan pengalamanku di atas
metromini tadi. Kukatakan, ada tiga pengamen dengan dandanan cukup nyentrik.
“Oh, itu namanya punkrock, bung,”
kata seorang pelanggan lain tiba-tiba menceburkan diri dalam pembicaraan.
Ia seorang pemuda berkacamata tebal
dan berambut cepak. Dari tampilannya, aku menduga ia mahasiswa. Kaos yang
digunakannya bergambar seorang tua berjenggot panjang. Tulisannya: Karl Marx.
Ia mengulurkan tangan perkenalan:
“Namaku, Robby Suhendro. Panggil
saja Robby, bung.”
“oh, aku Soerono. Panggilan
kerennya, Soe. Senang berkenalan denganmu, Rob.”
Usai perkenalan singkat, Robby
mengambil sebungkus rokok dari sakunya. Setelah mengambilnya sebatang, ia
langsung menawariku.
Mengetahui aku tak merokok, ia pun
mengangguk.
“Lebih baik tak merokok, bung.
Sekali coba anda akan ketergantungan. Bukan cuma isi kantong yang terkuras,
tapi umur juga dipangkas. Tapi, tak apa kalau aku merokok, bung?”
“Silahkan, bung.”
Usai membakar rokoknya, ia mulai
menghamburkan kata-kata di depanku.
“Yang bung ceritakan tadi, itu
namanya punkrock jalanan. Saya sering menyebutnya punk proletar. Ini untuk
membedakannya dengan punk klas menengah.”
“Kenapa harus dibedakan?”
“Begini, bung,” katanya sambil
menghisap rokok dalam-dalam. “Punkrock jalanan memang muncul dari kalangan
jelata. Mereka umumnya hidup di jalanan. Kadang-kadang, solidaritas dan
perasaan se-nasib-lah yang mempersatukan mereka.”
Hisapan rokoknya makin sering.
Sesekali meneguk kopi. Lalu, ia lanjutkan lagi penjelasannya:
“Nah, ada juga punk lain. Ini dari
klas menengah. Biasanya, mereka ini mengenal punk dari buku atau internet.
Biasanya, mereka ini aktif berpropaganda di internet atau lewat brosur.”
Makin lama dia makin makin
menggurui. Sedangkan aku, yang benar-benar baru mendengar hal semacam ini,
hanya menjadi pendengar. Aku tak punya senjata untuk menangkis penjelasannya.
Ah, betapa bodohnya aku ini.
“Nah, bung pernah dengar kata
Anarki?” tanyanya padaku.
“Kalau anarkis, iya, itu soal
tindakan merusak fasilitas umum. Aksi demo sering berujung anarkis.”
“Nah, itu pengertian yang salah,
bung,” ia tertawa pendek, menyindir.
“Anarkisme merupakan paham atau
pendirian filosofis. Kaum anarkis percaya bahwa manusia sebagai anggota
masyarakat akan membawa pada manfaat yang terbaik bagi semua jika tanpa
diperintah maupun otoritas. Pernah dengar nama Kropotkin?”
“Tidak, bung”
“Peter Kropotkin adalah bapak
anarkisme. Ia mencita-citakan masyarakat tanpa pemerintahan.
Keharmonisan dalam masyarakat, kata Kropotkin, akan dicapai bukan dengan
mematuhi undang-undang, atau suatu otoritas, namun melalui kesepakatan bebas
yang dicapai diantara berbagai kelompok, wilayah dan profesi, yang bergabung
secara sukarela.”
Aku makin terpenjara dalam
kebingungan. Setahuku, anarki itu cuma nafsu untuk merusak. Tetapi seorang yang
baru kukenal telah memberi pengertian baru. Lalu, apa hubungan antara punk
dengan anarki? Seperti apa masyarakat tanpa otoritas itu? apakah sama dengan
masyarakat sama rasa sama rata?
Pertanyaan itu terus menggelayut
dalam fikiran. Kalau tidak kumuntahkan, akan menjadi beban. Ya, aku harus
muntahkan?
“Jadi, seperti apa punk itu
sebenarnya?” pertanyaanku meledak juga.
Pemuda itu tertawa terbahak-bahak.
Entah karena pertanyaanku yang terlalu rendah atau kebingunganku. Entahlah..
“Punk itu bermuasal dari London,
Inggris. Ia sering disebut sub-budaya. Golongan punk terbentuk oleh
gerakan anak muda klas pekerja. Mereka resah dengan masalah sosial-ekonomi dan
muak dengan sistim politik. Mereka menyindir semua keadaan itu dengan
lagu-lagu.”
“Memangnya lagu bisa mengubah
keadaan,” sela Pak Sumadi dengan suara tinggi.
“Uhm..lagu hanya untuk
membangkitkan,” kata pemuda itu. “Setelah itu, massa yang bangkit bisa
mengusung perlawanan bersama.”
“Juga anak-anak punk di atas
metromini itu? Lirik lagunya adalah keluhan dan ratapan atas nasib. Bagaimana
bisa membangkitkan orang?” kataku menyerang balik.
“Ya, harus dipahami, lagu tentang
keluhan sekalipun adalah cerminan dari sebuah realitas. Dengan begitu, mereka
ingin menggugat sesuatu. Ya, mereka mau menggugat kemapanan,” kata pemuda itu
membela diri.
Aku berfikir keras. Setahuku,
anak-anak punk di atas metromini itu tak ubahnya dengan pengemis. Orang memberi
uang bukan karena lagunya, tetapi merasa iba dengan kehidupan anak-anak itu.
“Bukankah itu mengemis, bung?”
“Mengemis adalah perlawanan,” kata
pemuda itu tenang. “Kalau tak mengemis, mereka akan mati kelaparan. Mereka tak
punya keluarga lagi untuk bergantung lagi. Mereka benar-benar hidup di jalanan.
Bung tahu, jalanan adalah tempat perjuangan terakhir untuk mencari makan.”
Tiba-tiba ponsel pemuda itu
berdering. Ia segera mengangkatnya dan berbicara dengan suara sangat pelan.
Pak Sumadi sibuk meladeni pelanggan
lain. Aku sendiri tertegun. Tiba-tiba pemuda itu kembali melanjutkan
penjelasan. Begini katanya:
“Coba bandingkan dengan punk klas
menengah. Kaum ini menyebut diri punk ideologis karena menguasai teori. Tapi,
seradikal-radikalnya punk klas menengah ini, mereka tak berani putus dengan
keluarganya. Sebab, mereka tak mau putus sumber ekonomi dan hidup melarat.
Mereka juga takluk dihadapan pendidikan borjuis dan segala bentuk hirarki di
dalamnya. Dan, kalau sudah tamat kuliah, mereka juga akan takluk lagi dalam
hirarki pasar tenaga kerja. Mereka lebih pantas disebut punk oplosan.”
Rupanya itulah penjelasan terakhir.
Pemuda itu kelihatan sudah mau beranjak. Buru-buru ia matikan rokok di
tangannya. Maklum, di luar warung es teler ini orang sedang melaksanakan ibadah
puasa. Ah, dia juga pemberontak yang tak ideologis…
“Ngemis itu melawan, bung.
Setidaknya dia tak menyerah pada kelaparan dan kematian. Orang masih memilih
kehidupan. Ngemis atau mati! Sampai jumpa, bung,” katanya dengan nada
setengah berteriak dan kemudian beranjak pergi.
Aku kembali tertegun. Fikiranku
berkecamuk. Orang tuaku pernah bilang, tindakan mengemis itu tak terhormat.
Manusia itu berbeda dengan hewan hanya karena kerja. Serendah-rendahnya
pekerjaan orang, itu masih lebih bagus ketimbang orang yang tak bekerja dan
hanya meminta untuk dikasihani.
Ah, fikiranku makin berkecamuk. Aku
minta pamit pada Pak Sumadi. Lalu, kulankahkan kakiku ke arah stasiun kereta
pasar Minggu. Di sana, kuraih sebuah bangku dan duduk termenung. Lalu,
terbersit dalam fikiranku: hidup itu tidak berjalan seperti kereta dalam
relnya.
Betul! Ada begitu banyak
kemungkinan. Dan, setiap orang dihadapkan pada kemungkinan yang berbeda. Ada
yang berhadapan dengan banyak kemungkinan. Dan, ada pula yang berhadapan dengan
sedikit kemungkinan. Jika kita terlempar pada hanya satu pilihan untuk hidup:
meminta bantuan orang.
0 komentar:
Post a Comment