Punk
Rock Jalanan (Ceritamu, Ceritaku, Cerita Kita Bersama)
Tersebutlah seorang pemuda berusia
15 tahun. Namanya Tigor bersekolah kelas 3 SMP Kartika Balikpapan. Lahir di
keluarga baik-baik. Konon ceritanya keluarganya yang tadinya kaya-raya mendadak
jatuh miskin karena perusahaan sang ayah yang bergerak di bidang kontraktor
sipil gulung tikar. Di tengah hobinya bergabung dengan klub BMX, Tigor tidak
dapat memenuhi kebutuhannya untuk menyalurkan hobinya itu lebih dalam…yaitu
memakai barang-barang bermerk di tubuhnya, membeli ornamen-ornamen untuk
sepedanya, dan sebagainya.
Belum
lagi ejekan dari teman-teman satu klub yang selalu diterimanya. Sementara di
satu sisi, terdapat sebuah klub juga yang menamai diri mereka ‘street guys‘.
Dalam jiwanya yang labil, Tigor akhirnya membelot. Anak-anak ‘street‘ jiwa
kekeluargaannya lebih besar dibanding anak-anak BMX yang berasal dari keluarga
‘berada’. Tigor mulai merokok, bahkan untuk anak seusianya yang masih tergolong
belia, ia sudah mulai mengenal alkohol. Orang tuanya tak henti-henti
menasehatinya, tapi doktrin punk terlalu kuat…isinya antara lain “Nazi
fuck…polisi anjing…kita bukan budak, jangan mau disuruh-suruh…kami anti
kemapanan!!!”. Orang tuanya hanya bisa mengurut-urut dada saja ketika Tigor
membantah sewaktu disuruh membuang sampah rumah tangga mereka di tempat
pembuangan sampah yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Hingga suatu waktu sang
ayah marah besar ketika Tigor membentak beliau hanya karna disuruh pergi ke
warung makan. Kemarahan sang ayah membuat Tigor begitu sakit hati karena Tigor
belum pernah melihat sang ayah semarah itu kepadanya. Tigor pergi dari rumah
tanpa membawa baju ganti satupun. Ia pergi bersama kumpulan barunya yaitu
‘street guys‘ ato lebih kita kenal dengan nama anak punk yang sesungguhnya
keberadaan mereka sangat meresahkan masyarakat sekitar dan selalu membuat para
polisi jengkel. Di sinilah petualangan Tigor dimulai. Bersama kumpulan barunya
ia ikut mengamen di lampu merah, jika lapar dan tidak cukup uang ia mentegakan
dirinya mengorek-ngorek tempat sampah demi mengobati perutnya yang sangat
kelaparan. Sementara ayah dan ibunya menangis berhari-hari di rumah, berharap
Tigor, anak laki-laki satu-satunya mereka segera pulang ke rumah. Tigor
memiliki seorang kakak perempuan yang kemudian diasuh oleh tantenya setelah
mereka jatuh miskin. Akhirnya suatu saat ibunya mendapati anak lelakinya itu
sedang mengorek sebuah tong sampah. Kulitnya bertambah hitam, tubuh jangkungnya
terlihat semakin kurus, rambutnya yang hitam legam bagus berubah menjadi model
mohawk yang tak beraturan dan berwarna merah yang entah mungkin dari cat rambut
murahan. Ibunya menangis melihat anaknya itu dan memintanya pulang ke rumah.
Tapi Tigor tetap membantah sampai akhirnya temannya membujuknya untuk
pulang…dan pulanglah ia. Ayahnya mulai mengalah padanya. Motor satu-satunya
yang tersisa di rumah itu khusus untuk Tigor pakai. Tigor mulai mau sekolah
lagi, tapi di akhir pekan, tak ada yang bisa menghalangi langkahnya untuk pergi
ke Samarinda, 2 setengah jam dari Balikpapan waktu tempuhnya, bersama anak-anak
punk. Namun ayah dan ibunya tak begitu khawatir karena di Samarinda banyak
tante-tante dan sepupunya. Sampai akhirnya ia berkenalan dengan seorang gadis
kelas 3 SMP di SMPN 2 Samarinda bernama Liza. Kebetulan Liza adalah teman satu
sekolah sepupunya. Tigor pulang ke Balikpapan dengan hati berbunga-bunga.
Bertambah rajinlah ia berkunjung ke Samarinda karena gadis bernama Liza ini.
Orang tuanya sungguh khawatir sesuatu terjadi padanya sepanjang perjalanan
lintas kota itu. Akhirnya kelulusan tiba juga. Tigor masuk ke STM Swasta
satu-satunya di Balikpapan, jurusan elektro. Belum selesai cobaan yang harus
Tigor dan keluarganya terima, berawal dari kecurigaan kedua orang tuanya kalau
si anak buta warna karena Tigor sangat susah membedakan antara warna merah muda
dan hijau, ditambah lagi dengan sang ayah adalah seorang yang buta warna.
Akhirnya keluarga membawanya ke puskesmas, namun kata puskesmas hanyalah kurang
latihan. Oleh karena itu kedua orang tuanya tetap nekad memasukkan ke STM yang
terdekat dari rumahnya.Namun karena sudah dilatih berulang-ulang si Tigor belum
juga bisa menghafal warna-warna tersebut, dengan bantuan sang tante, kemudian
Tigor kembali untuk melakukan pemeriksaan dan dibawa ke dokter spesialis mata.
Tigor dinyatakan buta warna parsial (60%). Bermaksud baik, sang ibu membawa
surat pernyataan dari dokter itu ke pihak sekolahnya agar anaknya dipindahkan
jurusan ke jurusan otomotif saja. Ternyata pihak sekolah malah beranggapan
bahwa anak buta warna sama sekali tidak bisa masuk di STM di jurusan apapun,
jadi lebih baik pindah ke sekolah umum saja. Padahal STM tersebut sebelumnya
tidak melakukan test buta warna terhadap calon-calon siswanya maupun meminta
surat pernyataan tidak buta warna terlebih dahulu dari para calon siswanya,
seperti yang dilakukan oleh STM negeri. Di sekolah teman-teman memperlakukannya
seperti orang yang dikucilkan, sikap sang guru juga kurang baik kepadanya
(karena Tigor memang bukan siswa teladan di sekolahnya). Akhirnya Tigor membuat
keputusan untuk berhenti sekolah. Ia hanya mempunyai ijazah SMP dan tambah
menjadi-jadi kehidupan malam dijalaninya di usianya yang baru 16 tahun itu.
Suatu hari yang paling membuat orang tuanya shock adalah Tigor yang baru pulang
dari Samarinda, membawa Liza pacarnya ke rumah. Saat itu memang sang kakak
sedang nginap juga di rumahnya. Ketika ditanya oleh orang tuanya, katanya si
Liza akan menginap semalam, mau jalan-jalan dulu di Balikpapan, tidurnya bareng
kakaknya saja. Ketika orang tuanya menanyai Liza apakah sudah ijin kepada orang
tuanya, Liza bilang sudah. Walau masih sedikit curiga karena Liza masih
menggunakan seragam pramuka, namun orang tua Tigor cukup lega karena menurut
Liza ia sudah meminta ijin sebelum ke Balikpapan. Sampai kemudian terjadi
kehebohan besar. Tantenya Tigor telpon ke rumah menanyai Tigor tentang
keberadaan Liza karena orang tua Liza membuat ribut di rumah tantenya tersebut.
Ketika mengetahui Tigor membawa Liza ke Balikpapan, tantenya langsung menyuruh
mamanya Liza berbicara sendiri kepada ibunya Tigor. Ibu meminta mamanya Liza
untuk tidak terlalu khawatir, namun mamanya Liza tetap bersikukuh meminta alamat
Tigor di Balikpapan. Di tengah tidur pulasnya Liza, jam 4 subhu, orang tuanya
menjemput menggunakan taxi argo. Mereka tampak sangat khawatir karena Liza
adalah anak semata-wayang mereka. Akhirnya Liza dilarang orang tuanya menemui
Tigor lagi. Tigor datang ke Samarinda sudah tidak disambut baik lagi oleh
keluarganya Liza. Orang tua Liza tidak suka Tigor bergaul dengan Liza karena
Tigor hanyalah seorang yang lulusan SMP, dan seorang punker. Liza berasal dari
keluarga kaya. Tigor patah hati berat dengan Liza. Tigor mencoba untuk bunuh
diri, namun teman-teman satu kumpulannya mencegahnya. Kehidupan Tigor tambah
lekat pada kehidupan punk. Waktunya habis untuk mengamen dan berkumpul bersama
anak-anak punk di jalanan. Puskib adalah tempat berkumpulnya mereka. Lampu
merah adalah tempat mereka mengamen. Lagu andalan anak-anak punk berjudul “Punk
Rock Jalanan”. Lagu itu selalu Tigor nyanyikan saat mengamen, karena Tigor
merasa bahwa lagu itu sangat sesuai untuknya, dia memang seorang “Punk Rock
Jalanan”. Sewaktu orang tuanya memohonnya melepaskan diri dari punk, Tigor
berkata, “Bu, mereka juga keluargaku. Sewaktu motorku kehabisan bensin di
kilometer 20-an, di tengah hutan sana, aku menghubungi seorangpun temanku tak
ada yang bisa datang menolongku, tapi ketika aku menelpon Dedy, salah seorang
teman punk, semua anak punk Balikpapan datang menghampiriku, jalan kaki mereka
dari kota demi aku, menemaniku mendorong motor sampai aku bisa mengisi bensin
motorku. Aku menangis dalam hati saat itu. Karena sebenarnya saat itu aku sudah
ingin lepas dari mereka. Saat Liza meninggalkanku, punk tidak pernah
meninggalkanku.”
Orang
tuanya terharu dan tidak sanggup berkata apapun lagi. Punk memang meresahkan
masyarakat, mungkin karena mereka terkesan urakan, tapi sikap kekeluargaan mereka
terhadap sesamanya patut diacungi jempol. Begitulah kisah Tigor, Punk Rock
Jalanan.