Kebahagiaan adalah suatu istilah yang
lahirdari kehidupan manusia.Penghayatan hidup yang disebut “kebahagiaan” ini
meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit untuk dirasakan.Dapat
diduga, bahwa hampir setiap orang mengalami rasa bahagia.Untuk menjabarkan arti
istilah kebahagiaan sehingga cukup jelas dipahami serta memuaskan semua pihak
sesungguhnya tidak mudah. Ambillah misal tentang sebutan: senang, gembira,
bahagia, dan sejumlah istilah lain yang mirip dengan itu. Sebagian orang
mungkin menganggap bahwa seseorang yang sedang mengalami rasa senang atau
gembiraitulah sedang mengalami kebahagiaan.
Sebagian lagi menganggap bahwa rasa
senang hanya merupakan aspek dari kebahagiaan, sebab kebahagiaan sifatnya lebih
permanen dari pada perasaan senang yang sifatnya lebih temporer. Dengan kata
lain, kebahagiaan lebih merupakan integrasi atau rentetan dari sejumlah
kesenangan.
Malah mungkin ada yang lebih jauh lagi
berpendapat bahwa kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya sebagai himpunan
dari pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari itu, yaitu
merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan, dan
sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Proses integrasi
dan kesemuanya itu (yang menyenangkan maupun yang pahit) menghasilkan
penghayatan hidup yang disebut “bahagia”.
Peliknya persoalan mungkin juga
disebabkan oleh karna kebahagiaan itu lebih dapat dirasakan dari pada
dipikirkan.Pada saat orang-orang menghayati kebahagiaan, aspek rasa lebih
berperan dari pada aspek nalar.Oleh karna itu dikatkan bahwa kebahagiaan itu
sifatnya irasional. Padahal kebahagiaan yang tampaknya didominasi oleh perasaan
itu ternyata tidak demikian, karena aspek-aspek kepribadiannya yang lain
seperti akal pikiran juga ikut berperan.
Bukankah seseorang hanya mungkin
menghayati kebahagiaan jika ia mengerti tentang sesuatu yang menjadi objek rasa
bahagia itu? Juga orang yang sedang terganggu pikiran atau tidak beres
kesadarannya tidak akan sanggup menghayati kebahagiaan. Disini jelas bahwa
penghayatan terhadap kebahagiaan juga didukung oleh aspek nalar disamping aspek
rasa.
Kepelikan lain lagi yang mungkin timbul
ialah apabila kebahagiaan itu dipandang sebagai suatu kondisi atau keadaan (yaitu
kondisi emosi yang positif) disamping suatu proses. Dimuka telah
dijelaskan bahwa kebahagiaan itu merupakan suatu integrasi
pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dengan yang pahit antara perasaan dan
penalaran. Sekarang pengertian integrasi mencakup perpaduan proses dan hasilnya,
sehingga persoalan menjadi lebih pelik lagi.
Rangkaian kejadian yang didalamnya
tercermin kebahagiaan, misalnya seseorang yang telah lulus dan mendapat gelar
sarjana dengan predikay kelulusan yang baik, karena mencapai IPK: 3,8
(kebahagiaan). Setelah itu dengan masa menunggu sekitar setahun (penderitaan)
dapat diterima pada sebuah perusahaan kimia, dengan gaji yang sangat
menggembirakan (kebahagiaan). Setelah dua tahun dinas ia mendapat kecelakaan
(penderitaan), karena mukanya terkena uap kimia yang menjadikan mukanya rusak
dan kedua matanya buta (adzab).
Sebuah kesimpulan yang dapat ditarik
dari apa yang telah dipaparkan tentang kebahagiaan ialah bahwa kebahagiaan
ialah bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri pada
faktual (lulus sebagai sarjana, mendapat pekerjaan dan seterusnya) ataupun pada
rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya tetapi terletak
pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan
jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut didalam rangkaian atau ikatan tiga hal
yaitu: usaha, norma-norma, dan taqdir.
Yang dimaksud dengan usaha adalah
perjuangan yang terus-menerus untuk mengatasi masalah hidup.Hidup dengan
menghadapi masalah itulah realitas hidup.Karena itu masalah hidup harus dihadapi.Masalah
hidup adalah sesuatu yang realistis, objektif, bukan suatu yang
dibuat-buat.orang mengalami kebahagiaan bila bersedia menyerah pada
objektivitas(drijarkara). Kebahagiaan juga sesuatu yang realistis bukan
dibuat-buat.orang yang menderita tidak dapat mengatakan pada yang lain bahwa ia
bahagia, atau menunjukkan sikap atau lagak seolah-olah bahagia.
Selanjutnya usaha tersebut harus
tertumpu pada norma-norma/ kaidah-kaidah.Kebahagiaan adalah hidup yang
tenteram.Hidup tenteram terlaksana dalam hidup tanpa tekanan.Itulah hidup
merdeka.Dimuka sudah dijelaskan bahwa merdeka dalam arti yang sebenarnya, bukan
merdeka dalam arti bebas liar tanpa mendali yang justru mengundang keonaran dan
akhirnya tekanan-tekanan. Seseorang hanya akan merasa merdeka dalam arti
sebenarnya bila tidak merasakan adanya belenggu ikatan-ikatan, paksaan-paksaan
dari aturan-aturan (norma-norma). Yakni apabila ia telah menyatukan diri dengan
norma-norma kehidupansehingga kehidupannya dan segenap sepak terjangnya
merupakan pancaran (personifikasi) dari norma-norma. Jadi kebahagiaan dicapai
dengan penyatuan diri dengan norma-norma (kaidah-kaidah hidup).Dilihat dari
segi ini tampak pula bahwa kebahagiaan bersifat individual karena derajat
kebahagiaan sangat tergantung kepada orang-seorang.Kebahagiaan juga mengandung
sisi sosial, karna norma-norma/ kaidah hidup selalu bersifat sosial.
Kemudian takdir, takdir merupakan
rangkaian yang tak terpisahkan dalam proses terjadinya kebahagiaan, komponen
takdir ini erat bertalian dengan komponen usaha. Pepatah yang menyatakan
“manusia berusaha, tuhan menyudahi”, harus diartikan bahwa istilah takdir baru
boleh disebut sesudah orang melaksanakan usaha sampai batas kemampuan, kemudian
hasilnya –sepadan atau tidak dengan yang diinginkan- diterima dengan pasrah dan
kesyukuran.Kebahagiaan hanya dapat diraih oleh mereka yang mampu
bersyukur.Untuk itu kemampuan menghayati sangat diperlukan.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan
peningkatannya. Ada dua hal yang dapat dikembangkan, yaitu: kemampuan
menghayati hasil usaha dalam kaitannya dengan taqdir. Dengan demikian
pendidikan mempunyai peranan yang penting sebagai wahana untuk menggapai
kebahagiaan, utamanya pendidikan keagamaan.
Manusia adalah makhluk yang serba
terhubung, dengan masyarakat lingkungannya, dirinya sendiri, dan tuhan.
Beerling mengemukakan sinyalemen hainemann bahwa pada abad ke- 20 manusia
mengalami krisis total. Disebut demikian karna yang dilanda bukan hanya
segi-segitertentu dari kehidupan seperti krisis ekonomi, energi, dan
sebagainya, melainkan yang krisis adalah manusianya (beerling,1951:43)
Dalam krisis total manusia manusia
mengalami krisis hubungan dengan masyarakat, dengan lingkungannya, dirinya
sendiri, dan dengan tuhannya. Tidak ada pengenalan dan pemahaman yang seksama
terhadap dengan apa dan siapa ia berhubungan. Tidak ada kesraan hubungan dengan
apa atau siapa ia berhubungan. Inilah bencana yang melanda manusia, sehingga
manusia makin jauh dari kebahagiaan.Kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila
manusia meningkatkan kualitas hubunganya sebagai makhluk yang memiliki kondisi
serba terhubung dan dengan memahami kelebihan dan kekurangan-kekurangan diri
sendiri.Kelebihannya ditingkatkan dan kekurangannya diperbaiki.Sedangkan dengan
lingkungan alam manusia dapat memanfaatkannya (mengeksploitasi) sembari peduli
terhadap pelestarian dan pengembangannya.Terhadap tuhan, manusia harus memahami
ajaran-Nya serta mengamalkannya.